Komplek Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta |
Taggal 30 desember 2017 tahun lalu saya punya
kesempatan mengikuti bedah buku yang berjudul “Al-masih di Hindustan” karya
pendiri Ahmadiyyah “Mirza Ghulam Ahmad” bersama teman-teman (YIPC) Regional
Yogyakarta di komplek jamaat ahmadiyyah Yogyakarta dengan menghadirkan tiga Narasumber diantaranya, Mln M. Yusuf Ismail
(Jemaat Ahmadiyyah), Gus Irwan Masduqi (pengasuh Ponpes As-Salafiyah Mlangi),
dan Pdt. Stefanus Iwan L. (GKJ Sabda adi semanu) yang di moderatori langsung
oleh salah satu fasilitator YIPC
Relegion Yogyakarta Saudara Ahmad Salahuddin M.[1] Acara ini sebenarnya sebagai penutup
akhir tahun komunitas yang saya ikuti yaitu Youth Interfaith Peace Camp (YIPC).
Sebenarnya berita tentang Isa al-Masih apakah
ia di salib atau tidak, diserupakan atau
tidak, mengalami kematian atau tidak, atau tidak semuanya bahkan, masih cukup
menjadi pembahasan yang selalu menarik untuk diselami dan dikaji. Kami sangat
bersyukur dapat mengikuti acara tersebut. Sebab, selain keterbukaan pandangan yang kami dapatkan, kami juga mendapatkan perspektif baru tentang kisah Isa tersebut.
Yaitu versi sudut pandang tokoh besar pendiri Ahmadiyyah; Mirza Ghulam Ahmad.
Dalam bukunya yang berjudul “Isa al-Masih di Hindustan” ia mengklaim
pemahaman tentang Nabi Isa wafat di Salib adalah pemahaman yang kurang tepat,
sebab, alasan pertama, kategori mati di tiang salib adalah bagi orang
yang di la’nat atau melakukan dosa besar. Dalam istilah bahasa arab adalah (mal’un)
orang yang di kutuk karena melakukan perbuatan yang buruk. Alasan kedua,
adalah hal yang tidak logis bila Isa melakukan hal yang buruk, seorang hamba
Tuhan yang taat beribadah, membawa kedamain, serta ketulusan mengayomi Umat
terdapat celah dalam hatinya. Dia adalah insan pilihan Tuhan untuk menebar
kasih pada umat manusia.[2]
Menanggapi pendapat yang disampaikan oleh Mln M. Yusuf Ismail (Jemaat Ahmadiyyah) diatas, Pdt. Stefanus Iwan L. Salah satu Nara sumber yang kami
dtangakan mewakili umat kristiani berpendapat: tentu pendapat di atas sangat
berseberangan dengan konsep dan keyakinan fudamnetal umat kristiani, dia tetap
meyakini bahwa yang mati disalib adalah Isa Al-Masih. “Bila kita tidak percaya itu, sia-sia jadinya keimanan kita”
kata pak pendeta iwan tersebut. Tapi dia sangat mengapresiasi atas karya Mirza Ghulam
Ahmad tersebut. Karena ia telah mampu menjelaskan secara sistematis dan logis
dalam buku tersebut dengan.
Sekarang kita beralih terhadap pendapat narasumber yang ketiga
yaitu (Gus Irwan Masduqi) cukup memberikan pandangannya yang anti mainstream.
Sejauh yang ia pahami baik literature arab maupun inggris, karya Mirza Ghulam
Ahmad lebih mendekati pendekatan Sufistik atau nalar Irfani dalam kategori Ilmu
Filsafat Islam. Terutama mengenai kenabian Mirza Ghulam Ahmad, dalam ranah ilmu
tasawwuf, menurut Gus Irwan tidak menjadi problem. Sebab dalam pendekatan
Sufistik, kenabian (Nubuwwah) terklasifikasi menjadi dua: pertama: Nabi
yang membawa syari’at (tasyri’i), Ibnu Arabi dalam kitabnya An-Nubuwwat
menyebutnya Nabi “Khaassah”,
sedangkan Mirza Ghulam Ahmad sendiri memiliki bahasa sendiri yaitu: “an-Nabi
Khaassah kaamilah” Nabi Allah yang khusus dan sempurna. dan yang kedua:
Nabi secara umum (‘aammah), nah… dalam poin yang kedua inilah, menurutnya
masih menjadi problem di bumi Indonesia ini sendiri bila mendengar Mirza Ghulam
Ahmad sebagai Nabi. Karena paradigma yang di akses berbeda, yaitu antara
pendekatan Sufistik dan Pendekatan Fiqih (Islamic law Approach). Yang terjadi
di Indonesia kebanyakan menggunakan pendekatan fiqih, sedangkan kenabian Mirza yang
dimaksud adalah pendekatan sufistik.
Selanjutnya dalam dialog yang cukup alot, narasumber yang kerap
disapa Gus Irwan ini mencoba memandang peristiwa yang terjadi dengan pendekatan
sosio-historis. Berangkat dari Nabi Musa, Isa dan Muhammad hingga datangnya Isa
Al-Masih kebumi di akhir zaman. Secara garis besar Nabi-nabi yang di utus
selalu melampaui peradabannya. Nabi Musa hidup di masa Fir’aun dan ilmu sihir
sangat menjadi andalan kala itu. Namun Nabi Musa mampu melampaui sihir dengan
tongkatnya menjadi ular sehingga memberikan rasa ta’jub pada setiap orang yang
menyaksikan maupun yang mendengar kisahnya. Nabi isa hidup di zamannya dengan
kemajuan ilmu kedokteran yang hebat (tabib), namun dia mampu melampaui
dengan kemampuannya menghidupkan orang mati yang mana para Tabib tidak
mampu melakukan itu. Sedangakan yang terakhir adalah Nabi Muhammad berkecimpung
dalam kehidupan dunia sastra yang sangat hebat, namun ia juga mampu melampaui
peradaban itu sendiri dengan hadirnya Al-Qur’an menyajikan sastra yang tak
tertandingi hingga saat ini. Lampauan tersebut kita kenal dengan mu’jizat.
Narasumber sedikit berandai melihat pemaparan tentang lampauan para
rasul atas peradabannya, yaitu di utusnya kembali Nabi Isa turun ke bumi. Jika
dilihat saat ini, perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi sangat
mampu memberikan dampak perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat, Baik
secara individu maupun kelompok. Melihat perkembangan itu, narasumber
ketiga-tiganya berkomentar basah sembari tertawa, kiranya apa nanti turunnya
Nabi isa kembali ke bumi yang akan di lampaui pada peradaban selanjutnya,
sekarang saja kita lihat luar biasa perkembangannya?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut menurut Mln M. Yusuf Ismail (jema’at Ahmadiyyah). Tapi telah
diketahui bahwa Nabi Isa turun kembali bukan membawa hukum praktis baru
(syari’at), namun melanjutkan syari’at yang telah ada sebelumnya, yaitu
syari’at Nabi Muhammad. Jadi jelas kemungkinan yang akan di lampaui atau yang
menjadi kelebihan adalah perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi itu
sendiri, karena kitab terakhir yang dibawa Nabi Muhammad masih menyimpan sejuta
rahasia ilmu yang takpernah terkuras habis. Itu disisi lain kelebihan turunnya
Nabi Isa di samping mengakkan kasih sayang antar sesama juga melawan
kemunkaran.
[1]Mahasiswa
Tafsir Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Judul asli: Masih Hindustan
Me (Urdu).