Hari Santri dan Jihad Kesehatan

KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah, SH, MM.

 

KH. Moh Hasan Mutawakkil Alallah (Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Pajarakan, Probolinggo) mengatakan; “Jihad santri saat ini berbeda dengan dulu. Jihad santri di tengah pandemi Covid 19 adalah Jihad kesehatan.”

Hal ini disampaikan beliau pada acara Mancal Bareng Kiai dan Pak Wali dalam Rangka Hari Santri Nasional 2020 dan Kampanye Memakai Masker, Minggu (18/10/2020) di Klinik Kesehatan PCNU Kota Probolinggo. 

Menjaga kesehatan pada masa pandemi saat ini menjadi medan pertempuran terbesar yang menghantam siapa saja dan dimana saja. Kita yang tidak memiliki kewaspadaan dan abai terhadap protokol kesehatan akan kalah dan tereliminasi dari kehidupan. 

Mendasari pada semangat juang Revolusi Jihad oleh Hadratus Syaikh Hasyim Al-Asy’ari, menjaga kesehatan tidak kalah penting dari pada mengusir penjajah belanda yang berusaha kembali untuk menjajah Indonesia. 

Demi keberlangsungan tatanan hidup beragama, berbangsa dan bernegara, menjaga diri (Hifdu al-Nafsi) menjadi hal yang terpenting untuk saat ini. Karena pandemi ini tidak mengenal kelas sosial, tidak memandang usia, dan tidak melihat siapa yang kaya dan siapa yang miskin. 

Jihad Kesehatan 

Yang terpenting dari pada kata ‘jihad’ dan ‘kesehatan’ ini adalah tidak hanya sekadar fisik saja, melainkan juga kondisi mental. Santri yang dikenal sebagai orang yang memiliki budi pekerti baikndan wawasan keagamaan yang terdidik harus memenuhi kondisi internal-eksternal. 

Kondisi Internal yang dimaksud adalah memiliki pengetahuan lebih menyikapi kondisi sosial yang dinamis dan terus berkembang. Ilmu ilmu yang dipelajari harus dicari titik relevansinya, agar memiliki nilai jual di masyarakat. 

Kondisi eksternal yang dimaksud adalah santri harus mampu menjadi bagian dari masyarakat, bermitra dan atau tanpa menggurui. Santri harus mampu mengadopsi (Adopt) dan beradaptasi (adapt) dengan kondisi sosial saat ini. 

Teori adapt and adopt tini saya pinjam dari teorinya Fadlou Shahedina; yang ia gunakan membaca proses vernakularisasi di Nusantara. Ulama dan santri mampu mengadopsi keilmuan islam yang berkembang dan mampu diadaptasikan dengan budaya Nusantara. 

Sebenarnya, teori tersebut menurut saya sudah dipakai dan diterapakan oleh santri, terlebih warga Nahdiyyin dengan konsepnya “al-muhāfadzatu ‘alā al-Qadīmi al-Shālihi wa al-Akhdzu/wa al-ījādu bi al-Jadīdi al-Ashlah.” 

Kata ‘wa al-ījādu’ saya munculkan mengutip perkataan Said Aqil Siradj (Ketua PBNU); bahwa santri tidak hanya mengadopsi (wa al-Akhdzu) saja, melainkan harus mampu berinovasi (wa al-ījādu).

Kemudian lahirlah karya-karya keisalaman yang berbahasa lokal yang kita kenal dengan aksara pegon atau peghu kata orang Madura. 

Tentunya, seruan kesehatan yang dimaksud oleh Kiai Mutawakkil itu adalah kesehatan fisik menghadapi era pandemi ini. Hanya saja, bagi saya kesehatan mental dan kekutan literasi bagi santri tidak kalah pentingnya. Semoga kita diberikan kesehatan dan mampu memerangi kondisi yang tidak pasti ini. Yang jelas santri itu hebat, tapi juga harus kuat.

SANTRI KUAT, INDONESIA HEBAT.
Selamat Hari Santri Nasional 2020

Yogyakarta, 22 Okt. 2020.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama