Pak Sabat, Angkringan, dan Mantan Aktivis Gereja

Namanya Pak Sabat, penjual angkringan, asli warga Yogyakarta. Sebelum kenal namanya dia banyak cerita tentang perjalanan hidupnya. Terlebih, akibat kondisi pandemi seperti saat ini. Warung angkringannya nampak sepi. Alasan sepi itu saya tiba-tiba tertarik untuk mampir dan membeli sesuatu, meskipun sebenarna tidak begitu butuh. Akhirnya saya memilih mie instan goreng untuk menemani malam minggu saya.

 

source: http://kagama.co/2019/04/10/angkringan-pilihan-konkret-semua-kalangan/

Pak Sabat menyiapkan sajiannya sambil ngobrol dan menanyakan asal saya. Pak Sabat bercerita banyak; mulai dari pengalaman bekerja sampai pengalaman hidupnya. Dia pekerja di salah satu warung makan di Jogja. Tapi semenjak masa pandemi, ia dirumahkan sejak 6 bulan yang lalu. Padahal warung yang dimaksud sekarang sudah buka lagi, tapi tidak ada kejelasan dan panggilan.

 

Demi mengidupi keluarganya,  akhirnya Pak Sabat memilih untuk bekerja di Angkringan pinggir jalan Timoho. Dia tampaknya frustasi atas kejadian yang menimpanya. Ternyata betul, ia punya anak kecil umur dua tahun yang harus rutin minum susu untuk menjaga gizinya. Akhirnya terpaksa, dari pada menunggu kepastian dari tempat kerjanya, ia harus memilih pekerjaan lain.

 

Mie instans yang di rebus dengan arang ternyata udah siap diangkat. Kemudian di saring untuk membuang air rebusannya. Siapa yang menyangka, dalam proses penyaringannya mie instan malah jatuh ke tanah. Akhirnya suasana haru, malu dan rasa bersalah Pak Sabat pada saya menyeruak. Saya bilang; nggak apa-apa, Pak. Saya gak jadi makan aja. (Dari pada nunggu lama), batinku.

 

Betul, Pak Sabat memang sedang gundah. Menyikapi saya, mungkin dianggap enak diajak ngobrol, akhirnya  dia langsung bercerita banyak ke saya. Sebagian cerita sudah kami tulis di atas. Mau tidak mau saya dengarkan. Sebagai teman cerita, akhirnya aku mikir; mau beli apa ya? Mie unsatn kan sudah jumplek.

 

Meskipun baru kenal, nama yang digunakan, yaitu ‘Sabat’ di kuping saya sangat familiar. Ya, kata itu adalah nama hari, artinya ya Sabtu. Biasanya nama itu sering digunakan oleh Umat Kristen. Spekulasi dalam benak kami muncul kemana-mana. Rasa ingin tahu tentang Bapak ini makin ingin jauh. Dan mari terus bercerita...

 

Ternyata nama Bapak memang memiliki jejak historis yang panjang. Ia seorang muallaf pada tahun 2017. Satu tahun sebelum masuk Islam, dia diawasi penuh oleh warga sekitarnya. Karena khawatir malah mau bikin gaduh (trouble maker) katanya. Kok bisa gitu ,Pak? saya tanya. “ia Mas, karena sebelumnya saya aktivis Gereja” mungkin masyarakat khawatir saja.

 

Akhirnya dia memilih pindah agama. Tahun 2017 Pak Sabat membaca kalimat syahadat di salah satu masjid terdekat tempat ia tinggal. Keputusan Pak Sabat membuat dirinya harus di deportasi oleh orang tuanya, dan bahkan orang tuanya tidak akan membiayai pernikahannya saat itu. Pak Sabat menyadari hal ini sebagai tantangan yang jelas. Dan menjadi motivasi untuk bangkit tanpa membenci siapapun. Karena pindah agama adalah pilihan hatinya.

 

Balik ke term nama Pak Sabat! Akhirnya kami memilih berkomentar. Nama Bapak Bagus, kalimat sabt direkam oleh Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah ayat 65) sebagai tanda hari peristiwa dimana sebagian dari kaum Nabi Musa mengingkari untuk menyembah-Nya pada hari itu, akhirnya mereka disamakan seperti kera. Ada yang bilang menjadi kera utuh, bukan sebagai bahasa metafor. Bapaknya terhenyak dengerin saya. haduh...

 

Ceritanya kita lanjut, dikit lagi! Pak Sabat menjalani deportasi dengan kasih sayang. Karena ia tau ini adalah jalan yang dipilih sendiri. Sebagai anak dan mahluk sosial tidak menhalangi sama sekali untuk berbakti pada orang tuanya meskipun beda agama. Seakan-akan Pak Sabat ingin menjelaskan pada saya bahwa ia bisa melewati tantangan yang ia alami menjadi differensial di keluarganya sendiri.

 

***

 

Saya tidak jadi makan. Mie instans saya nyungsep dan untuk menimpali rasa malunya akhirnya si Pak Sabat malah bercerita sekian banyaknya tentang dirinya. it’s okay no problem, saya dengarkan. Karena prinsip saya, suatu saat saya juga butuh didengar dan mendengar. Lebih dari pada itu, biasanya  selalu ada hikmah atau ibrah  yang bisa di ambil dari tiap cerita orang baru di sekitar kita.

 

Ternyata saya haus, karena di sela-sela bercerita itu saya makan mengabisi satu tahu isi. Sebagai pengganti mie intans saya mesan es susu coklat, dari pada hanya satu tahu dan satu krupuk. Puji Syukur, Alhamdulillah es susu yang saya pesan tidak jatuh dan mampu nyampek ke tenggorokan menghapus rasa dahaga saya. 

 

Akhirnya, saya menutup cerita dengan Pak Sabat dan minta di kalkulasi berapa harga satu krupuk rambak, es susu coklat dan satu gorengan tahu? ternyata cuma tiga ribu, edaaan... emang murah sih, karena mie instans tadi tidak dibebankan ke saya. Kata Pak Sabat salah penjualnya bukan salah pembeli. Tidak apa-apa, Mas.

Lain waktu saya kesini lagi, Pak! oke siap!

 

The End.

 

*Edisi revisi dan dimuat juga di Website Duta Damai Yogyakarta.


(Cerita malam mingguan) Yogyakarta, 19 September 2020

 


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama