Dokumen pribadi |
Dia mencoba memberikan pandangan baru pada saya, bahwa pada dasarnya mengaku salah adalah motivasi terbesar untuk berubah. Meskipun hal itu sangat sulit diakui. Karena tidak jarang yang disalahkan adalah sistem alam. Misal engkau terlambat masuk kelas. Setelah itu dosen bertanya. Dari mana saja anda sehingga lambat masuk kelas? Sering kita jawab; tadi didaerah sana hujan, tadi ban motor bocor, makan dulu karena magh.
Jawaban ini ternyata perlu dievaluasi, karena secara tidak langsung kita tidak mau mengaku salah, selain menyalahkan alam atau orang lain yang mengitari. Coba kita mulai, bahwa ini semua salah saya karena kurang antisipatif dll..
Kelihatannya sepele dan biasa biasa saja. Bahkan alasan yang dikemukakan kerap kali jadi senjata ampuh untuk membela diri. Tidak masalah sebenarnya, tapi ada yang menawarkan cara lebih baik bagi saya. Sebut saja si A. Dia seorang Direktur perusahaan besar dan menaungi tiga anak perusahaan yang tersebar di pucuk utara NTT.
Dia banyak bercerita pengalamannya tentang review karyawan. Salah satu yang ditekankan adalah kejujuran. Salah satu upaya untuk bisa jujur adalah terbiasa melakukan evaluasi diri (saya menyebutnya analisis diri). Analisis diri ini akan berdampak besar agar dapat mengkalkulasi personal branding kita untuk bisa menawarkan nilai jual atau legal standing yang dimiliki.
Tahap selanjutnya akan ada yang namanya team work atau kita kenal dalam kehidupan sehari-hari dengan istilah bermasyarakat. Seyogyanya bermasyarakat tidak hanya melihat peran orang lain pada kita. Pada posisi tertentu kita kiranya perlu melihat peran apa yang kita miliki. Atau setidaknya jika tidak memiliki peran kita bisa menjaga sikap dan perasaan orang lain.
Masyarakat adalah komponen sistem dalam kehidupan. Salah satu power system itu adalah kita. Seyogyanya sedari awal sensivitas sosial kita latih agar tumbuh dan tidak mudah terbawa arus angin hoax, kebencian dan adu domba. Upaya ini saya sebut sebagai bentuk analisis sosial.
Sejak kali pertama Jokowi terpilih menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia, ia menyerukan revolusi mental. Dampak diantaranya pada sistem pendidikan yang mengusahakan keterlibatan penuh pada masyarakat. Meskipun usaha ini tidak seutuhnya tercapai minimal istilah “revolusi mental” muncul dari pada “dekadensi moral.” Kan gak enak kesannya meskipun hal itu yang kerap kali kita saksikan.
Budaya Klarifikasi atau Minta Maaf
Sebenarnya perlu dicermati dulu, kita sering dijejali dua istilah tersebut. Padahal yang dilakukan adalah kesengajaan dan bersumber dari pada kurangnya pengetahuan. Misal, “mengatakan Nabi pernah tersesat” setelah banyak kecaman dari berbagai pihak hal yang muncul pertama kali adalah klarifikasi. Padahal indikasinya jelas bahwa kesalahan yang dilakukan disebabkan ketidaktahuannya tapi memaksa berbicara banyak depan publik.
Contoh lainnya; sering kita lihat dilakukan oleh publik figur. Baik artis, akademisi, lebih lebih tokoh politik memang ahlinya. Eh... Setelah melakukan kesalahan yang dilakukan adalah melakukan klarifikasi. Enak aja, kayak ada penghapusnya aja. Emang ya, minta maaf itu berat, kayak lindu.
Bagi saya, konsep mengakui kesalahan yang ditawarkan teman saya ini penting untuk diperhatikan. Selain tidak mudah terjebak su'udzzan, nyalahkan orang lain, kesempatan besar bawah sadar kita ada sistem moral yang bekerja membentuk karakter tangguh dan bertanggung jawab mengakui kesalahan. Kedewasaan muncul dan terlatih, sehingga menghadapi persoalan pribadi (sebagai bentuk analisis diri) dan bermasyarakat, kerja tim, organisasi dan pemerintah (sebagai bentuk analisis sosial) dengan profesional dan tanggung jawab.
*tokoh dalam cerpen ini fiktif