Gus Dur, Kiai Chudori dan Kisah Gamelan sebagai Integrasi Masyarakat

Nama Gus Dur menjadi notifikasi terbaik hingga saat ini. Sosoknya yang dianggap sebagai manusia kontroversial mengundang banyak khalayak menjadi memoreble dengan namanya. Banyak pernyataan sikap maupun sikapnya dianggap karepe dewe (tidak sesuai prosedural). Apalagi pada saat sosoknya masih menjabat sebagai seorang Presiden. Tidak sedikit sikapnya mengambil tindakan seperti tidur saat rapat adalah hal yang lumrah. Sehingga pemandangan tersebut mudah menundang orang yang berseberangan mudah reaktif.

Belum hal lainnya, seperti perkataan yang dianggap ngawur dan kemudian beberapa saat kemudian menjadi kenyataan. Seperti kasus dirinya menjadi Presiden, akan lengsernya Soeharto, Jokowi jadi Presiden, kasus Sutarman jadi Kapolri, Kiai Said jadi Ketua Umum PBNU, Ahok jadi Gubernur dan celetukan spontan lainnya yang sering relevan dengan kenyataan mutakhir ini. Fenomena Gus Dur ini memang sulit dipercaya dan tidak sedikit kemudian menganggapnya sebagai peramal. Namun beda halnya dengan anggapan yang pro terhadapnya, justru menganggapnya sebagai seorang wali yang dapat melihat masa yang belum terjadi (mukasyafah).

source: Islamic.co pict

Gus Dur menyebutkan di beberapa kesempatannya, salah satu yang memberikan isnpirasi dalam kepribadiannya adalah seorang Gurunya, yaitu Kiai Chudori pendiri Pondok Pesantren Asrama Pendidikan Islam (API) di Tefal Rejo, Magelang, Jawa Tengah. Pondok ini di dirikan pada tahun 1940-an, sedangkan Gus Dur menjadi santri sekitar akhir tahun 1950-an. Ia belajar langsung kepada pendiri serta pengasuh pertama langsung, Kiai Chudori di Ponpes API selama kurang lebih 2,5 tahun.

Proses ta'alluq (perjumpa'an) secara langsung antara seorang santri dan Kiainya itulah, bagi seorang Abdurrahman Wahid, gurunya banyak mengajari banyak hal. Terutama tentang persoalan kemanusiaan. Kata Gus Dur, sosok Kiai Chudori itu tidak pernah menolak siapapun yang ingin datang kepadanya. Oleh karena itu, sosoknya bagi Gus Dur menjadi influencer dalam menerjemahkan antara kebutuhan beragama dan bersosial. Pengalaman ini baginya adalah anugerah yang sangat luar biasa. 

Misalnya kisah satu ini; masyarakat Tegal Rejo (Magelang) pada saat itu memiliki bondo deso (kas desa). Kas tersebut dihasilkan dari patungan masyarakat. Konon, hasil dari kas ini biasanya digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan umum. Sehingga, pada waktu tertentu kas desa itu benar-benar dibutuhkan. akan tetapi di kalangan masyarakat terjadi perdebatan antara digunakan untuk pembangunan masjid dan untuk membeli kebutuhan seni, yaitu perlatan musik Gamelan.

Perdebatan di masyarakat itu hampir tidak berujung. Karena setiap pihak mempertahankan argumentasinya masing-masing. Sebagai jalan alternatif, perdebatan masyarakat tersebut akhirnya dihaturkan kepada Tokoh Agama setempat, yaitu Kiai Chudori (ayah dari Gus Yusuf Magelang). Setiap pihak menuturkan keinginannya dan berharap ada keputusan yang memuaskan. Terutama yang berargumentasi untuk merehabilitasi masjid, mereka berbesar hati karena Kiai Chudori adalah seorang kiai.

Setelah semua argumentasi dihaturkan kepada Kiai Chudori, jawaban Kiai Chudori jauh panggang dari api untuk pihak yang berargumen untuk pembangunan masjid. Karena Kiai Chudori justru memberikan saran kepada masyarakat agar menggunakan Kas Desa untuk dibelikan peralatan musik Gamelan. Karena menurut Kiai Chudori bahwa, kalau gamelannya sudah ada dan masyarakatnya rukun, nanti dengan sendirinya dana untuk masjid akan ada.

Konsekuensi logisnya adalah, ketenteraman masyarakat adalah kunci dan modal utama untuk mencapai kesejahteraan beribadah. Seperti halnya ungkapan yang masyhur di kalangan Ulama, bahkan Gus Dur juga mengutipnya: menghindarkan (diri dari) kerusakan (lebih) diutamakan (mengalahkan) atas upaya membawa kebaikan (Dar’ul Mafâsidi Muqoddamu ‘alâ Jalbil Masholih). Artinya, jika kondisi masyarakat tenang, keinginan untuk beribadah dengan tenang pun mudah terealisasi. Berbeda dengan kondisi apabila negeri kita dalam kondisi tidak aman, untuk beribadah pun juga tidak bisa tenang.

Menurut salah satu keturunannya Kiai Chudori, yaitu Gus Yusuf, Gus Dur sering mengisahkan pengalaman langsung ini dalam setiap kesempatanya. Karena memang, pada saat itu Gus Dur menurut Gus Yusuf Chudori terlibat dan menyaksikan langsung perhelatan kisah nyata itu. Bahkan Gus Dur disebutkan memang penasaran terhadapa keputusan yang akan diambil oleh Gurunya. Karena di dalam kondisi kisah tersebut bukan perkara mudah dan harus diputuskan dengan sebijak mungkin. Makanya, menurut Mbah Tejo, kisah ini sangat menohok sekali.

Inilah yang kemudian perlu kita jadikan pelajaran, bahwa Islam itu adalah nilai, bukan hanya sekadar mementingkan simbol semata. Mungkin, andai Kiai Chudori hidup di zaman saat ini, tidak sedikit yang menilai Kiai Chudori tidak pro Islam, liberal, sesat dan segala macam. Bahkan bisa jadi ada yang akan menggiring dan menjudge bahwa Kiai Chudori adalah kafir, karena dianggap menghalangi prosesi pembangunan masjid dari pada beli alat seni musik Gamelan.


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama