Potensi Manusia; antara Perang dan Damai

Menurut Sigmund Freud, seorang Ahli Ilmu Saraf (Neorologist) berkebangsaan Austria menyebutkan bahwa manusia memiliki unsur-unsur alam bawah sadar. Aktivitas manusia yang tampak dipermukaan tidak sepenuhnya adalah wujud hakikat dari keseluruhan unsur manusia itu sendiri. Manusia digerakkan oleh kemauannya yang bersifat alami atau yang bersifat manusiawi, seperti sifat lapar, kenyang, senang, sedih, marah dan lain sebagainya. Semua itu tidak tampak secara hakikat.

Menurut Freud kebiasaan itu dimiliki oleh semua orang dan dihasilkan dari energi yang sama, yaitu dari energi makanan yang dikonsumsi. Sifat alami atau biologis itu Freud menyebutnya dengan istilah Id. Id adalah kebiasaan yang dimilki setiap manusia, dan sifatnya bawaan. Sifat bawaan maksudnya adalah manusia tidak bisa lepas dari pada kebiasaan tersebut.

Sebelumnya saya ingin menjelaskan bahwa unsur manusia itu memiliki dua tingkatan lagi setelah Id, yaitu Ego dan Super Ego. Ego berperan sebagai unsur yang menuntut agar manusia itu merealisasikan energi yang ada di Id. Misal Id menginginkan bersenang-senang, maka Ego menuntut agar didunia nyata dapat terealisasi, misal Id menuntut agar manusia dapat menumbangkan orang lain, maka Ego menuntut agar ada siasat dan perang untuk merealisasikannya.

Sifat yang sedemikian itu normal dan wajar terjadi, di samping energi yang positif dan negatif memang terdapat potensi dilakukan oleh manusia. Seperti yang dijelaskan Imam Al-Ghazali dalam konsep kepribadiannya bahwa manusia itu memiliki al-Nafs. Al-Nafs ini dapat didistribusikan pada perilaku yang positif (mahmudah) dan juga dapat didistribusikan kepada perilaku keji (madzmumah). Sehingga, tergantung peran mana yang lebih berpengaruh terhadap kepribadian manusia itu sendiri. 

Kita kembali ke Freud, konsep yang ketiga pada unsur manusia itu adalah Super Ego. Konsep ini selalu mengajak kepada manusia agar dapat berperilaku arif dan bijaksana, sesuai aturan, sesuai prinsip dan sesuai norma yang berlaku. Posisi Super Ego di antara dua yang lain (Id dan Ego) adalah sebagai penyeimbang. Penyeimbang antara nafsu/Id dan Ego maksudnya adalah keinginan itu harus sesuai dengan sistem nilai yang berlaku.

Sifat-sifat Manusia menurut Imam Al-Ghazali

Di dalam diri manusia ini sangat kompleks. Manusia memiliki beberapa sifat yang dapat dikembangkan, di antaranya adalah sifat seperti binatang, sifat binatang buas, sifat seperti setan, dan sifat seperti malaikat. Masing-masing dari sifat tersebut dapat difungsikan dan menjadi penentu, sifat mana yang dominan terhadap manusia itu sendiri?

Binatang memiliki kebiasaan seperti rasa lapar dan mengutarakan kepentingan nafsunya, manusia sama. Bahkan Binatang juga memiliki sifat yang buas, suka memangsa dan mematikan setiap hewan yang dianggap mengganggu rasa keamanannya. Karena dengan cara tersebut dapat menguasai teretorial dan ekspansi kekuasaan. Sifat itu juga diadopsi Al-Ghazali, bahwa manusia memiliki potensi seperti binatang buas itu. Maka tidak heran terjadi pembunuhan dan kekerasan fisik.

Sementara sifat lainnya adalah potensi manusia menjadi seperti setan. Sifat yang selalu membuat keributan, kegaduhan dan melakukan propaganda dan menciptakan problem (trouble maker). Perumpamaan sifat ini juga mengandaikan bahwa manusia itu sendiri pada tataran praktis dapat membuat kekacauan.

Perang dan Damai
 
Dari klasifikasi dan pendekatan yang kita gunakan antara Sigmund Freud maupun Al-Ghazali, sangat jelas bahwa terdapat faktor internal yang sangat memengaruhi manusia. Baik faktor itu berakhir dengan cara yang baik maupun faktor itu berakhir dengan cara yang tidak baik.

Faktor yang tidak baik mudahnya kita andaikan saja sebagai perang. Baik perang itu adalah melawan diri sendiri, karena memang terdapat sebuah nafsu atau ego yang di miliki oleh manusia. Manusia harus mengendalikan atau memeranginya agar tidak terjerumus terhadap perkara yang lebih sukar.

Perang yang kedua adalah, barangkali perang secara fisik  seperti yang dapat kita saksikan seperti saat ini antara Rusia melawan Ukraina. Itu pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Freud sebagai sifat Egosentris. Sama-sama mempertahankan egonya untuk merealisasikan keinginannya.

Apakah ada potensi untuk bisa damai? Sebenarnya ada dan sangat berpotensi. Tapi perlu diingat, jika perang itu adalah faktor sosiologis, maka harus ada keterlibatan antara kedua belah pihak. Yaitu adalah dengan cara menjalankan kesepakatan , norma-norma yang berlaku, dan yang terakhir adalah mempertimbangkan nilai-nilai etis, lebih tepatnya adalah rakyat.

Rakyat cenderung sering menjadi korban dan tanpa pertimbangan kerap kali pengambilan keputusan sebuah negara. Padahal, baik secara langsung maupun tidak, mereka sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan perdamaian, perlindungan, pendidikan, dan yang terakhir adalah sama-sama punya hak untuk hidup.

1 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama