Antara Saya, Jogja dan Warung Kopi

Sebenarnya tidak banyak yang bisa saya berikan, apalagi masalah ilmu, tidak banyak yang bisa saya sampaikan karena keterbatasan saya meskipun kota yang saya huni adalah kota pendidikan. Paling hanya bisa ngajak bercerita santai dan ku ajak ke warung kopi sambil menikmati kopi dan mendoan.

Kalau melihat kota kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan yang lain, tempat main teman saya di gedung gede-gede gitu. Sebut saja namanya Mall lah ya... Karena memang kanan kiri jalan mall semua dengan gagah tinggi berdiri di memaku bumi.

Tapi, pemandangan itu sangat sulit kalau di cari di kota Jogja yang katanya istimewa itu. Paling gede kalau gak hartono Mall ya JCM. Itu pun masih tidak ada apa-apanya kalau di bandingkan dengan gedung-gedung yang ada di kota besar lainnya. Untung saja bukan pameran gedung yang menjulang tinggi yang menjadi perbandingan, andaikan saja hal itu terjadi, bagaimana dengan nasib saya di Jogja yang hanya tahu warung ngopi dan angkringan di sepanjang jalan!

Anak Mahasiswa Jogja anak malam. Sebenarnya kata-kata itu hanya identik saja. Semua mahasiswa saya kira hampir sama seperti itu, jarang tidur normal seperti biasanya jam 11 udah pada istirahat malam. Saya mengatakan hampir sama, karena saat saya memiliki kesempatan keliling kampus di luar Jogja, Semarang misalnya, prilkau kita sama saja tidak jauh berbeda sering begadang malam sambil ngopi, apalagi esok harinya libur. Bedanya mereka tidak dilimpahkan warung kopi sebesar dan sebanyak Jogja.
Warkop Basa Basi

Saya memiliki teman akrab semasa di Pondok. Dia berkesempatan kuliah di UB Malang ambil Akuntansi. Suatu saat dia bentuk kepeduliannya memberikan nasihat kepada saya agar tidak sering-sering ngopi. Bagi dia, ngopi di identik dengan orang yang malas belajar, suka nongkrong dan kuliah keteteran karena lambat. Nasihat ini sempat menjadikan saya berfikir dan saya anti warung kopi selama satu semester. Terjadi saat saya masih baru-barunya. Jadi saya bingung antara mengikuti nasihat teman saya itu atau ikut teman-teman pada ke warung kopi ngobrol santai sama Mahasiswa atau para senior saya katakan. Akibatnya saya suka berdiam diri Di Masjid Kampus dan pulang jika mau tidur.

Dengan desain gaya hidup sedemikian, saya hampir tidak punya teman kecuali teman kelas saja, itu yang aku maksimalkan waktu itu.  Info terkait sistem sosial di Jogja saya pun lambat memperoleh info, apalagi sosial kampus. Sulit saya temukan di teman kelas. Boleh di bilang gak ada. Karena mereka hanya menemani saat ada tugas dan belajar saat di kelas. Jika ada kesempatan, bisa makan bareng sih. Tapi, Udah itu aja.

Suatu saat saya terdesak untuk ke warung kopi karena harus mengikuti musyawarah dengan sesama Frame tertentu, akhirnya terpaksa saya harus ke warung kopi. Setelah musyawarah saya coba mengamati sekeliling Mahasiswa di warung kopi tersebut, dan yang saya lihat, mereka beraktivitas seperti musyawarah, diskusi, baca buku dan mengerjakan tugas kampus. Tapi saya tidak menemukan domino atau alat main lainnya, kalau buku dan laptop iya, atau gitar sekalian hanya sebatas penghibur saat gundah saja. Hampir seluruhnya, mereka menyelesaikan permasalahan yang bersifat konfirmasi dan koordinasi di warung kopi.

Setelah saya melihat fenomena tersebut saya jadi suka ke warung kopi walau hanya beli Jus buah maupun Extra joss misalnya, karena saya tidak ngopi. Jadi bahasa untuk ayok ngopi bagi Mahasiswa jogja itu bukan beli kopi, kita bisa maknai ayok ngumpul mislanya. Karena saat kumpul bisa diskusi, sharing dan berbagi pengalaman. Bayangkan, seperti itu terjadi setiap malam dan sebagian siang. Jadi saya beralih idealis menjadi orang yang suka di warung kopi bukan suka minum kopi, nyusu saja tidak ada masalah kok...

Sehingga menjadi tradisi dan daya tarik tersendiri bagi saya mengarungi jalan dalam rihlah akademik ini. Bayangkan jika Jogja hanya dihiasasi dengan Mall Mall dan hotel hotel saja, dimana kita bisa belajar dialog dan berbicara santai perihal keilmuan, masa' iya harus di kamar, kelas dan di perpustakaan saja? Saya jamin bosan. Apalagi di Mall, yang diperoleh hanya main-main saja dan cari AC karena tubuh kepanasan di luar. Masa bodoh bisa belajar, diskusi dan baca buku di Mall, susah bisa terjadi.

Bagi saya, warung kopi di Jogja tidak memfasilitas baju dan makanan yang enak seperti di mall mall, tapi warung kopi di Jogja bisa menghasilkan baju dan dan makanan enak seperti di mall mall tadi. KOPI (Ketika Otak Perlu Inspirasi), maka ngopilah bersama kami di Jogja.

Surabaya, Rabu (Ramadhan) 13 Juni 2018.

2 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama